Teologi Pembebasan Sebagai Ruh Pergerakan

TEOLOGI PEMBEBASAN SEBAGAI RUH PERGERAKAN

Oleh:

A. Izzul Muthok (Sekretaris NU Ranting Juwet)

Menanggapi artikel teologi pembebasan yang telah ditulis oleh akhinal karim bapak Masruchin, S.Ag, baca juga Teologi Pembebasan menjadikan saya marasa tergelitik untuk menaggapi wacana yang hampir tidak tren dikalangan generasi Muda NU sekarang. Wacana tersebut akan mendapat stempel liberar bagi orang yang nalarnya masih membeku, nalar yang tidak siap menerima berbagai macam liberasi penafsiran, dan akan mudah menuduh hal tersebut sebagai “sesat” “liberal” “Pendakalang akidah” dan lain-lain.

Oke saya tidak akan memperpanjang mukodiman ini, baik lah secara histori dikatakan oleh  akhinal karim bapak Masruchin, S.Ag, “keberadaan agama merupakan koreksi dari kesalahan manusia” nampaknya beliau ingin mengantarkan nalar kita untuk mengatakan bahwa agama itu untuk membebaskan manusia dari belenggu materialisme keduniaan. Kalau kita analisis turunnya Islam di negara arab, ini sebenarnya bukanlah suatu kebetulan. Secara sosial masyarakat arab pada saat itu adalah masyarakat jahiliyah, zaman dimana terjadi ketimpangan sosial seperti perbudakan, eksploitasi dan dominasi yang kuat menindas yang lemah.

Disini sebenarnya pemahaman agama, kita paksa untuk membebaskan manusia dari semua keterbelngguan itu. Agama sebagai doktrin teologis harus mampu membebaskan keterbelengguan manusia dari keruwetan dunia, sehingga tidak salah jika agama dalam bahasa sansakerta diartika A = tidak dan Gama = kocar kacir jadi agama sejatinya ingin menata manusia agar menjadi manusia yang beradab, manusia yang memanusiakan manusia yang lain.

Namun saya punya pandangan lain bahwa agama (sebut saja Islam) ini sebagai ruh pergerakan. Ruh sebagai bahan bakar pergerakan untuk membebaskan manusia dari kebebalan nalar berfikir. Ruh yang mampu menggerakkan suatu usaha dalam mengkontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya.  Ruh sebagai penggerak upaya ber-teologi secara kontekstual.

Memang dalam sejarahnya jika saya pahami dari tulisan akhinal karim Masruchin, S.Ag Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan penjajahan, bias ideologi dan sebagainya. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial.

Namun jika teologi pembebasan ini dimaknai sebagai ruh nya pergerakan, maka  manusia hanya bisa bebas dari keterkungkungan itu, adalah dengan pendidikan atau dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, seperti pada tindakan prefentif manusia dalam mengatasi cuaca dan gangguan yang menghalangi aktifitas.

Ketika dimaknai teologi pembebasan ini sebagai ruh pergerakan maka kita akan menemukan konsep besar yaitu  “tauhid integralistik”, artinya semua yang ada dalam dunia ini mengarah pada keesaan Tuhan

Teologi pembebasan sebagai ruh pergerakan jika kita korelasikan dengan masa sekarang, maka akan sesuai. Sebab di tengah tengah zaman yang begitu canggih dan penuh dengan Ilmu Pengetahuan ini. Seseorang harus bisa menjalani hidupnya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi sekarang  suasana masih pandemi Covid-19. Jangan hanya mengandalkan satu objek saja, akan tetapi semua kebutuhan harus terpenuhi dengan Ilmu Pengetahuan yang di miliki. Sebab untuk bisa bertahan hidup itu tidak hanya butuh materi atau kekayaan semata. Namun yang lebih di utamakan itu adalah ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu Pengetahuan kekayaan dan materi itu bisa di cari, tetapi materi atau kekayaan saja susah akan mendapatkan Ilmu Pengetahuan. Jadi itulah intinya teologi pembebasan sebagai ruh pergerakan adalah pemikiran baru tentang konsep kebebasan manusia dari keterbelengguan pikiran.