KANG AZIZ
Kabar pernikahan putri terakhir kyai Marzuki
tersebar begitu cepat, jarak setengah bulan sebelum hari H para santri dan
masyarakat sekitar pondok raudlotut tholibin sudah berbondong-bondong ro’an
menyiapkan persiapan untuk prosesi pernikahan ning Riza putri ragil seorang
kyai muda di daerah ini. Rencananya pesta perkawinan akan diselenggarakan
dengan semeriah mungkin, empat hari berturut-turut, aneka pergelaran akan
ditampilkan disini untuk memeriahkan acara tersebut, dari mulai wayang kulit, hadrah,
rebana, qosidah, pengajian, istighosah, kiyai-kyai besar dari pondok besar
diluar kota juga akan diundang, undangan sudah mulai diseber jauh sebelum
rencana acara itu diselenggarakan.
Kalau pondok sedang ada gawe baik itu
perayaan hari besar atau acara lain yang paling super sibuk adalah kang Aziz.
Seperti pernikahan putri kyai Marzuki yang sudah-sudah kang Aziz-lah yang
menghendel semuanya, namun nampaknya kali ini malah kang Aziz tidak tampak
entah dimana ia sekarang. Kang Aziz adalah abdi ndalem kyai Marzuki,
sudah puluhan tahun ia tinggal di pondok ini, yaitu setelah ia dititipkan oleh
ibunya kepada almarhum kyai ghozali abah ibu Nyai Najwa istri Kyai
Marsuki. Kyai Ghozali adalah pendiri pondok, namun sekarang pengasuh digantikan
oleh Kyai Marzuki menantu beliau. sejak kang Aziz di tinggal wafat ibunya, ia
tidak punya siapa-siapa kecuali keluarga ndalem.
Sebelum kyai ghozali wafat, waktu itu kang aziz
masih duduk dibangku madrsah ibtidaiyah, usianya masih cukup belia untuk
merasakan kesedian atas kepergian kyai sepuh yang sangat disegani masyarakat
dan para kyai besar lainnya, hanya saja beliau pernah berpesan kepada kang aziz,
kelak ialah yang harus memimpin dan meneruskan perjuangan beliau, memang sejak
pertama kali kang Aziz ditipkan disini, almaghfurllah Kyai Ghozali yang mengemongnya
sampai kyai besar itu harus menghadap sang maha pencipta.
Kang Aziz tinggal dipondok ini sejak ia masih
duduk dibangku TK, jadi sudah tentu ia sangat dekat dengan keluarga ndalem
bahkan ia sendiri sudah dianggap seperti keluarga sendiri, kang Aziz tidak
tinggal bersama layaknya santri biasa atau abdi ndalem yang lain, karena
kang aziz diberi ruang khusus berupa kamar kecil yang berada tepat didepan ndalem
jadi kalau sewaktu-waktu mbah yai butuh tenaganya tidak harus repot-repot
mencarinya.
Untuk keperluan sehari-harinya kang Aziz juga
menjadi satu dengan ndalem, dari mulai makan minum dan kebutuhan lainnya
ia tidak bersama dengan abdi ndalem lain, sehingga setiap hari kang aziz bisa
makan dan minum, istirahat bersama keluarga kyai Marzuki. Orang yang tidak tahu
sejarah kang aziz pastilah menganggap kalau ia adalah saudara kyai Marzuki
karena kedekatannya dengan keluarga ndalem.
Sejak kecil kang aziz sangat akrab dengan ning
Khumairo’ yaitu putri pertama dari kyai Marzuki, karena umurannya sepantaran
dengannya, bahkan sejak madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, sampai
madrasah aliyah kang aziz selalu satu kelas dan selalu bersama dengan ning
Khumairo’. Jadi tidak heran jika kedekatan kang aziz dengan ning khumairo’ sudah
bagaikan saudara sendiri bahkan seperti keluarga sendiri. Ning khumairo’ selalu
menjadi saingan terberat kang Aziz, belum pernah ia bisa menyaingi prestasi di
kelasnya, kalau ning Khumairo’ peringkat satu kang Aziz bisa dipastikan selalu
mendapat peringkat dua.
Namun terkadang ucapan orang jawa ada benarnya
juga wiwiting tresno jalaran soko kulino itulah yang dirasakan kang Aziz
kini, mungkin karena saking seringnya bertemu dan bersama dengan ning
khumairo’ dari belia sampai dewasa, ternyata ada perasaan berbeda dengan putri
pertama kyai muda itu, singkat kata kang Aziz mulai jatuh cinta pada ning
khumairo’, memang pribadi ning khumairo’ mencerminkan kalau ia lebih keibuan
dan ndewasani .
Kang aziz sendiri orangnya juga sangat cekatan, terampil
dalam mengerjakan apapun, isoan kalau istilah orang jawa. Pribadinya
juga tidak begitu neko-neko, penyabar dan kalem. Ia juga sangat disiplin
dalam mengerjakan tugas-tugasnya, pandai membagi waktu, dan selalu menjadi
panutan dan guru bagi santri-santri lain dipondok ini.
Ning khumairo’ juga dikaruniai kecerdasan yang
luar biasa, hampir seluruh pelajaran ada diluar kepalanya. Kang Aziz sangat
paham dengan kepandaian ning itu, karena sudah bertahun-tahun ia belajar
bersama dan sekaligus menjadi saingan beratnya. Tidak jarang kalau kedua
saudara ini belajar bersama di dalam ndalem entah itu mengerjakan tugas
atau membahas sesuatu yang berkaitan dengan kitab-kitab atau pelajaran yang
lain. Tidak jarang juga Ning Khumairo’ menggurui kang aziz. Pribadinya
yang kalem dan lemah lembut menambah keseganan kang Aziz pada kekasih
rahasianya, namun karena ada perasaan sungkan dan malu perasaan kang
Aziz harus ia pendam.
Meski ia memendam rasa cinta pada ning Khumairo’
ia tidak pernah melanggar aturan maupun syariat agama, baginya cintanya adalah
perasaan suci, perasaan yang memang dianugrahkan Allah pada siapapun yang ia
kehendaki, begitu juga dengan ning Khumairo’ ia sendiri juga sangat baik kepada
kang Aziz bahkan kebaikannya sudah tidak sewajarnya ia lakukan layaknya terhadap saudaranya yang
lain.
Setiap pagi ning Khumairo’ selalu menyiapkan kopi
pahit kesukaan kang aziz, tidak jarang ia juga kerap mencucikan baju kang aziz
jika kang aziz punya tugas menemani abahnya keluar kota beberapa hari untuk
mengisi pengajian atau acara lainnya. Itulah yang menambah kang Aziz makin segan
dan mengagumi kebaikan putri pertama Kyai Marzuki.
Namun beberapa hari kemudian sepertinya kang aziz
harus menyudai perasaan cintanya pada ning khumairo’ karena ia baru saja
dilamar oleh gus Ali putra kyai besar dari kota sebelah yang juga masih sahabat
dari Ibu Nyai Najwa istri Kyai Marzuki. Perasaan kang Aziz sepertinya tidak
ihlas jika ning Khumairo’ menjadi milik orang lain, namun karena melihat
kebahagiaan ning khumairo’ mendapat lamaran dari gus Ali yang juga sangat ganteng
dan pintar, akhirnya kang Aziz juga bisa mengihlaskan kekasih hatinya dipungut
orang, sepertinya gus Ali adalah jodoh yang sekufu dengan ning khumairo’
yang ia segani kepribadian dan kepandaiannya.
Ketika prosesi pernikahan ning Khumairo’, sudah
tentu kang aziz lah yang menjadi seksi paling sibuk, dari mulai menyiapkan
setting lokasi tempat walimah, menyusun undangan, menyebarkan, sampai
menyiapkan dapur semua dinahkodai oleh kang Aziz, singkat kata suksesnya acara
prosesi perkawinan adalah berkat kerja keras kang Aziz dari awal hingga kahir.
Tidak lama kemudian ning Khumairo’ sudah pergi dari ndalem untuk ikut
suaminya ke pondok yang kelak mereka pimpin.
Belum setengah tahun kepergian ning khumairo’
nampaknya adik dari ning khumairo’ atau putri kedua dari kyai Marzuki
menggantikan ning Khumairo’ sebagai teman kang aziz dalam menjalankan
tugas-tugasnya sebagai abdi ndalem, dalam proses perjalanan waktu
nampaknya ning Mirza juga tidak kalah menariknya dari kakaknya. Malah kalau
dari segi fisik ning Mirza jauh lebih menawan jika dibanding dengan kakaknya,
ia lebih cantik dan anggun, raut mukanya berseri-seri, bibirnya alami, tubuhnya
langsing, tidan kurus dan tidak gemuk, kulitnya putih bersih, kalau pakai baju
apapun selalu kelihatan serasi. Namun karena dulu kang Aziz lebih dekat dengan
kakaknya nampaknya ning Mirza tidak pernah ia perhatikan.
Sudah sekian kalinya mbah Yai menyuruh kang Aziz
untuk mengantarkan ning Mirza pergi, entah itu ke rumah saudara, atau ke
acara-acara pribadinya, karena sejauh ini ning mirza tidak pernah sendirian
kalau pergi ke manapun, sebab ia sendiri belum bisa naik motor atau nyetir
mobil sendiri.
Ning mirza juga tidak kalah baiknya dengan
kakaknya, kalaupun ia pergi ke suatu acara tertentu, ia selalu mengajak kang
Aziz untuk mampir sebentar ke warung atau restoran terdekat, “sesekali biar
kang aziz tahu dunia luar” kata ning Mirza setiap kali mengajak mampir kang
Aziz. Tidak jarang juga ning Mirza bercerita tentang pengalaman-pengalaman yang
ia alami dengan teman-temannya atau pengalaman yang dianggapnya menarik dan
asyik jika harus berbagi dengan orang lain yang membuat hati kita nyaman.
Peluang untuk berdua-duaan sangat sering dilakukan
oleh ning mirza besama kang Aziz, itupun selalu permintaan dari ning Mirza
sendiri, karena kang aziz sendiri tidak pernah berani mengajak ning Mirza karena
ia sangat mengormati putri dari kyainya itu. Suatu ketika saat kyai menyuruh
kang Aziz mengatar belanja putrinya, tiba-tiba ning Mirza mengajak mampir ke
salah satu tempat wisata di kota ini sebelum melakukan perjalanan pulang.
Sebuah permintaan yang belum pernah kang Aziz bayangkan sebelumnya.
“mampir dulu Kang di tempat wisata situ bentar”
kata ning Mirza dalam mobil sambil menunjuk ke sebuah tempat wisata yang
jaraknya tiga puluh meter dari pandangan meraka berdua.
“ngak salah ning?” tanya kang Aziz gak pecaya
“iya mampir sebentar saja”
“inggih ning”
Setelah memarkirkan mobil ning mirza mengajak kang
Aziz menemaninya duduk di emperan depot kecil, karena hanya dari sinilah seluruh
pemandangan yang menjadi obyek wisata dapat tergambar dengan jelas. Setelah pesan
dua minuman sepertinya ning Mirza merasakan kebahagiaan yang terpancar dari
wajahnya. Namun kang Aziz hanya deg-degan menunggui ning Mirza yang sepertinya
sedang merasakan kebahagia. Entah kebahagiaan apa yang sedang ia rasakan hanya
ning mirza sendirilah yang tahu.
Percakapan-percakapan kecil menjadikan suasana
ditempat ini sangat menarik, dari mulai cerita tentang masa kecilnya dulu,
cerita tentang pondok, bahkan apapun bentuk ceritanya selalu menjadi
perbincangan yang mengasyikkan jika kita tepat memilih orang yang diajak
bicara.
“ apa sampean sudah punya calon kang?”
tiba-tiba suara ning mirza dengan serius bertanya pada kang Aziz yang sejak
tadi mendengarkan cerita ning Mirza.
“calon apa ya ning”? tanya kang aziz penuh
ragu-ragu
“ya calon istri lah, masak calon anak?” tanya ning
mirza dengan nada bercanda.
“belum ning” jawab kang aziz
“cepat cari kang, nanti keburu telat, atau diambil
orang” kata ning mirza kepada kang Aziz sambil menghabiskan minuman yang ada
dihadapannya “eh kang...gak usah panggil saya ning, mulai sekarang panggil saja
saya mirza”
“iya ning...eh maksudku Mir”
“ayo pulang kang, aku sudah lega” kata ning Mirza sambil
beranjak dari tempat duduknya.
“iya ning...eh Mir”
Dari pertemuan itu dan dari hari kehari nampaknya
hati kang Aziz sudah merasa terpikat oleh ning Mirza, kang aziz merasa kalau
ning mirza juga menyukai dirinya. Megingat kemanapun ia ingin pergi selalu
minta diantar oleh kang Aziz. Kalaupun kang Aziz kebetulan tidak ada, ning
mirza malah setia menunggu sampai kang aziz pulang dan bisa mengantar, karena semenjak
kedekatan ia sama kang Aziz ning Mirza sendiri tidak mau kalau diantar oleh
santri lain atau abdi ndalem yang lain meski sangat banyak santri yang setiap
saat siap mengantar kemanapun putri kiayi itu pergi.
Rasa cintapun telah tumbuh pada hati kang Aziz, benih-benih
yang semula berkecambah nampaknya kini telah menjadi tunas-tunas dan siap untuk
berbunga, sebuah perasaan yang sudah tidak wajar lagi jika harus menganggap
ning Mirza sebagai saudara, mereka bukan hanya dekat seperti saudara, melainkan
seperti kekasih, tidak jarang ning mirza juga sering menceritakan hal-hal yang
menyangkut masalahh pribadinya kepada kang Aziz ketika ada kesempatan keluar
ataupun saat bersama-sama mengerjakan tugas ndalem.
Bahkan waktu menghadiri HAUL pondok dimana ning
mirza dulu menimba ilmu, ning Mirza juga mengajak kang Aziz menemaninya, disana
kang Aziz malah dikenalkan kepada teman-teman lamanya yang sebagian besar juga
sudah punya pendamping hidup, “ini teman saya, teman spesial” gitu katanya
kepada teman-teman ning mirza tanpa sedikitpun mengatakan kalau kang Aziz
adalah abdi ndalem ning Mirza sendiri.
Tak terduga, pagi itu sepertinya hati kang Aziz mendadak
gemetar ketika menyuguhkan minum kepada
kedua tamu dari seberang yang sengaja sowan kepada Yai Marzuki,
ia dengar dari percakapan antara tamu itu dengan Kyai Marzuki, nampaknya
kedatangan kedua tamu itu hendak melamar ning Mirza, tak tau apa yang harus
dilakukan oleh kang aziz, ia seperti tak mampu menguasai dirinya sendiri,
apakah ia harus kehilangan ning Mirza, mengingat ia sendiri sudah terlanjur
akrab dengan ning mirza, bahkan sudah terlanjur sayang, malah khusus untuk
dirinyalah sandaran gelar ning ia tinggalkan, agar tidak ada lagi sekat yang
dapat membentengi keakraban dan kedekatan mereka.
Baru semalam ia berfikir untuk secepatnya matur
kepada mbah Yai tentang perasaannya kepada Ning Mirza, namun pagi ini sepertinya
keinginan kang Aziz haruslah dibatalkan. Padahal ia sendiri sudah melakukan gladi
bersih untuk merangkai kata-kata ketika mengutarakan niatnya kepada Kyai
Marzuki.
Melihat kenyataan ini Kang aziz hanya bersikap
pasrah, mau menyalahkan ning mirza dengan alasan apa ia menyalahkan, karena ia
sendiri tidak penah terus terang menyatakan cintanya kepada ning Mirza, mau
menyalahkan dirinya sendiri, yang jelas hal itu tidak akan merubah niat Kyai
Marzuki yang sudah terlanjur meng-iya-kan ning Mirza dilamar orang, mau
mengutarakan perasaannya pada kyai jelas tidak berani, mengingat sudah ada
orang lain yang melamar, sepertinya salah satu jalan adalah meng-ihlas-kan ning
Mirza menjadi milik orang lain, asalkan ia bahagia dan selalu bahagia seperti
sewaktu ia masih bersama-sama dalam mengantar kemanapun ia pergi.
Pernikahan ning mirza dengan gus Mahrus pun
terjadi juga, lagi-lagi ia menjadi seksi super sibuk lagi dalam mengurusi
prosesi perkawinan, kang aziz hanya bisa memandangi kedua pengantin itu ketika
saling bersuapan dipelaminan, berfoto-foto bersama, tersenyum mesra berdua, entahlah
apa yang sekarang dirasakan oleh kang aziz, apakah ia sendiri benar-benar ihlas
menerima kepergian ning Mirza atau malah kalut dalam kemelut hatinya yang
sedang dirundung derita. Semua ia serahkan kepada Allah. Dan ia sendirilah yang
tahu.
Hari-hari semenjak kepergian ning Mirza sepertinya
menjadikan pondok ini terasa sepi itulah kiranya yang dirasakan oleh kang Aziz
saat ini. Namun ia tetap menjalankan tugasnya sebagai abdi ndalem dengan
baik, mulai dari mencuci mobil, membersihkan halaman, mengajar ngaji karena disamping
abdi ndalem ia sendiri juga termasuk santri senior dan tangan kanan Kyai
Marzuki, mengantar yai pergi kalau ada undangan pengajian, memimpin rapat-rapat
pengurus pondok dan lain-lain tanpa sedikitpun ia tinggalkan kebiasaanyaan itu.
Kali ini ia mengerjakan sendiri seluruh tugasnya,
kadang-kadang juga dibantu oleh putri ketiga dari kyai Marzuki namanya ning
Azizah, hampir sama namanya dengan kang Aziz hanya ada pembeda antara laki-laki
dan perempuan, memang seperti itulah bahasa arab, selalu ada bedanya antara
simbol laki-laki dan perempuan, semoga saja dalam kehidupan tidak ada pembeda, bukankah
laki-laki dan perempuan sejatinya adalah sama yaitu sama-sama manusia.
Ning azizah tidaklah sepintar dan secantik
kakak-kakaknya, ia terkesan biasa-biasa saja, dalam bekerja membantu kang Aziz
ning azizah juga tidak seaktif kakak-kakaknya, hanya saja sesekali ia mau
membantu kalau disuruh oleh abahnya, hanya yang membuat kang aziz betah
berlama-lama jika ditunggui oleh ning azizah adalah tingkahnya yang ada-ada
saja, ia sangat suka bercanda, kadang-kadang juga meledek kang Aziz.
Ning azizah sendiri juga merasa sangat senang jika
harus menggoda-goda kang aziz, sebab kalau kang aziz di gojloki dengan
macem-macem cara, ia tidak pernah marah, malah ia merasa senang, nampaknya hal
inilah yang menjadikan ning Azizah merasa cocok dengan kang aziz dibanding
dengan santri atau abdi ndalem yang lain.
“baju kang aziz gak pernah dicuci ya? Kok bau
sekali” kata ning azizah ketika melihat kang aziz sedang mengelapi meja ndalem
“ning zizah ini bisa saja, lawong baunya
datang dari tempat duduk ning sendiri” jawab kang aziz sambil menutup hidungnya
karena gak tahan menahan bau kentut yang keluar dari tempat duduk ning Azizah
yang sejak tadi baca buku di shofa.
“sabar kang...namanya anugrah masak saya tolak”
Keduanya saling tertawa menahan tingkah ning zizah
yang kerap kali bikin ulah kepada kang Aziz. Sepertinya kelucuan ning zizah
tidak ada habisnya, memang sejak kecil ning Azizah pandai untuk membuat
kelucuan-kelucuan kadang-kadang juga sedikit konyol juga. Setiap ia berkata
pastilah orang lain yang diajaknya tertawa, ia sendiri juga pandai merangkai
kata-kata yang dapat membuat perut orang menjadi kaku karena ucapannya yang
selalu lucu.
Setiap pagi sudah menjadi tradisi dan kebiasaan
kang aziz untuk membersihkan halaman ndalem setelah itu barulah kang Aziz mandi dan
mengajar di madrasah.
“Kang... jangan keseringan mandi” kata ning azizah
ketika melihat kang aziz yang baru mengelapi rambutnya dengan handuk
“emang kenapa ning?” tanya kang Aziz meski ia
sendiri tahu pasti ada-ada lagi lelucon yang sengaja dibuat oleh ning Azizah
“entar sampean malah bau”
“Kok bisa ?” tanya kang aziz masih curiga
“la itu ikan dikolam, setiap hari mandi baunya
malah amis” jawab ning azizah dibarengi dengan tawanya, lalu disusul oleh tawa
kang aziz.
Hari-hari kang aziz kini lebih banyak dihabiskan
dengan ning Azizah, kadang disaat kang Aziz bekerja dan ning Azizah tidak ada
nampaknya suasana menjadi sunyi, kang Aziz menjadi kesepian. Begitu juga dengan
ning Azizah sehari saja tidak menggoda kang aziz nampkanya harinya terasa lama.
“kang aziz tahu gak akibatnya kalau orang itu
jatuh hati” tanya ning Aizah disaat ia sedang menemani kang Aziz mencuci mobil.
Kang azizpun menghentikan sebentar bekerjanya, ia
tutup kran agar air tidak muncrat kemana-mana “mungkin orang itu akan selalu
resah, kemanapun dan apapun yang ia kerjakan selalu ingat dengan orang yang
sedang dicintai, selalu ingin berdekat-dekatan dengan cintanya, selalu ingin
bersama, dan hari-harinya pun akan selalu indah, kadang juga ada sedikit
kekhawatiran kalau cintanya menjadi milik orang lain, kadang juga ada kenyamanan
karena ia merasa memiliki” dengan serius kang aziz menjawab lalu melanjutkan
mengelapi mobil lagi.
“salah kang!”
“lalu bagaimana?”
“yang jelas orang itu akan mati”
“kok bisa?” kata kang aziz tak percaya
“lawong hatinya jatuh, yang jelas jantungnya juga
ikut copot dong, hati kan letaknya berdekatan dengan jantung” jawab ning aziz
dengan tawa meledek kang Aziz yang mukanya sedikit memerah mendengar lelucon
Ning Azizah. Sudah berapa kali ia masuk perangkap ning Azizah sendiri.
Jika dulu lelucon yang dikeluarkan oleh Ning
Azizah hanya ringan-ringan saja nampaknya seiring dengan perjalanan waktu
kedekatannya dengan kang Aziz, canda-canda ning Azizah sudah bertemakan masalah
cinta, tidak jarang ning Azizah kerap menggodanya dengan puisi-puisi yang ia
produksi sendiri kadang ia sengaja meletakkan deretan puisi romantis dikamar kang
Aziz.
Salah satu kelebihan dari ning Azizah adalah
suaranya yang merdu ia juga juara MTQ tingkat kabupaten serta kecakapannya
dalam membuat bait-bait syair yang kalau siapapun membacanya pasti akan senang
dan bisa memahami, ia pintar merangkai kata, kata-kata yang ia racik tidak
pernah berbelit-belit atau kebanyakan simbol layaknya syair-syair orang besar. Kata-katanya
selalu sederhana serta pilihan katanya selalu tepat, orang seperti kang Aziz
yang tidak genah sastrapun bisa memahami setiap bait puisi yang ditaruh
oleh ning Azizah dikamarnya.
Kadang kang Aziz tertawa sendiri membaca syair
ning Azizah yang mencerminkan kelucuan, kadang juga menangis sendiri kalau
syairnya menceritakan kesedihan, kadang juga ke-GR-an sendiri jika
syair-syairnya romantis dan mengena pada diri kang Aziz.
KEKASIH
Mestinya malam ini bisa sangat istimewa dengan
mimpi-mimpiku slama ini
Kekasaih, jemputlah aku
Kekasih, sambutlah aku
Aku akan menceritakan kerinduanku dengan kata-kata
biasa
Dan kau cukup tersenyum memahami deritaku
Lalu kuletakkan kepalaku yang penat
Diharibaanmu yang hangat
Kekasih tetaplah disisiku
Kekasih tataplah mataku
Tapi seperti biasa
Sekian banyak yang ingin ku katakan tak terkatakan
Sekian banyak yang ingin kuadukan tak teradukan
Sekian banyak yang ingin kuceritakan diambil alih
oleh air mataku
Kekasih dengarlah dadaku
Kekasih bacalah air mataku
Malam ini belum juga seperti mimpi-mimpiku slama
ini
Malam ini lagi-lagi kau biarkan sepi mewakilimu
Ia kumpulkan satu-satu persatu syair-syair dari ning
Azizah spesial untuk dirinya, sepertinya ning Azizah sengaja membuatkan
syair-syair khusus yang dipersembahkan teruntuk kang Aiziz seorang.
Bukankan aku sudah mengatakan kepadamu, kemarilah
Rengkuh aku dengan sepenuh jiwamu
Datanglah, aku akan berlari menyambutmu
Tapi kau terus sibuk dengan dirimu
Kalaupun kau datang, kau hanya menciumi pintu
rumahku
Tanpa meski sekedar melongokku
Kau hanya menggambarkan dan membayangkan diriku
Lalu kau rayu aku dari kejauhan
Kau merayu dan memujaku
Bukan untuk mendapatkan cintaku
Tapi sekedar memuaskan egomu
Pulanglah pada dirimu
Aku tak kemana-mana.
Setiap hari syair dikamar kang Aziz tak pernah
absen, selalu ada yang baru belakang ini memang syair-syair dari ning Azizah
lebih pada perasaan bertemakan jatuh cinta, kadang dibenak kang Aziz berkata
kalau ning Azizah telah benar-benar jatuh cinta padanya. Memang kenyataanya
itulah yang dirasakan oleh kang Aziz, ia sendiri tak kuasa jika harus menolak
perasaanya pada ning Azizah, sepertinya kang Aziz sudah benar-benar jatuh cinta
pada putri Kyai Marzuki yang ketiga.
Kadang sesekali ia sendiri juga sengaja membuatkan
syair-syair romantis sebagai jawaban atas syair-syair dari ning Azizah padanya.
Namun karena ia sendiri kurang piawai dalam merangkai kata dan tidak begitu PD
untuk memberikan syair itu pada ning Azizah, ia hanya menyimpannya sendiri,
sepertinya ada kepuasaan tersendiri jika harus membuat syair meski orang lain
tidak ada yang tahu karya kita.
Sudah beberapa bulan ini hati kang Aziz
benar-benar ketresnan pada ning Azizah, sementara itu hari-hari kang
Aziz selalu bersama dengan putri Kyai Marzuki yang paling kocak itu. Namun
nampaknya kehendak tuhan berkata lain, dan kebersamaannya dengan ning Azizah
harus segera disudahi, karena lagi-lagi cintanya diambil oleh orang lain, kali
ini ning Azizah dilamar oleh putra Kyai dari jawa tengah, cintanya kandas lagi,
“sepertinya inilah yang harus menjadi nasibku sampai mati” dalam batin kang
Aziz berkata mewakili keputusasaannya pada dirinya.
Prosesi pernikahan secepatnya harus
diselenggarakan, sebab memang ini adalah permintaan dari calon besan
Kyai Marzuki, setelah menemukan tanggal baik dan kedua keluarga mempelai
menyetujui prosesipun akan digelar. Inilah tradisi jawa bahkan tradisi Indonesia yang masih dipandang
baik dan harus tetap dijaga. Pernikahan bukanlah sekedar ikatan suci antara
pria dan wanita, melainkan ikatan antara dua keluarga, keluarga mempelai
laki-laki dan keluarga mempelai perempuan, agar tetap terjadi tali kekeluargaan
yang semakin kuat dan kokoh.
Sudah bisa ditebak saat prosesi pernikahan ning
Azizah sudah barang tentu kang Aziz-lah yang menyiapkan semuanya, siapa lagi
santri senior yang mampu menghendel acara sedemikian besar, kang Aziz memang
sangat ahli dalam berkomunikasi dengan masa dan menyiapkan acara yang seperti
ini. Baginya ini adalah pekerjaan yang mudah, dari mulai urusan yang paling
kecil dan paling besar pada acara itu ia selalu menjadi tempat bertanya para
santri lain yang ikut membantunya. Bahkan untuk prosesi pernikahan kali ini kang
aziz harus bekerja ganda dan lebih berat dibanding dengan prosesi pernikahan yang
sebelumya, karena pesta perkawinan dilakukan masih pada bulan syawal, pondok
raudlotut tholibin masih libur, jadi para santri masih banyak yang belum datang
ke pondok, kecuali santri-santri yang dekat dengan ndalem dan beberapa abdi
ndalem yang lain.
Bahkan sengaja Mbah yai meminta pada kang Aziz
menyiapkan kamar pengantin dan ia sendiri yang mendesainnya untuk tempat ning
Azizah menikmati malam pertamanya dengan suami tercintanya. Lalu bagaimana yang
dirasakan kang Aziz sekarang, hanya sabar dan sabar menghadapi kehendak tuhan,
memang siapa yang sabar jika kekasih hati kita menjadi milik orang lain dan ia
sendiri yang harus berepot-repotan untuk mensukseskan perkawinan orang yang
paling kita cintai, kalau tidak sabar mau apa lagi, ya jelas Cuma sabar itu
saja yang bisa dilakukan oleh kang Aziz.
Setelah
kepergian ning Azizah sudah tidak ada lagi yang mengajak kang aziz tertawa
bersama, tidak ada lagi lelucon-lelucon kocak yang keluar dari suaranya disaat
kang Aziz sedang menyelesaikan pekerjaan ndalem, tidak ada lagi syair-syair
yang sengaja dibuat oleh ning Azizah untuk dibaca setiap hari kamarnya. Singkat
kata sepertinya kang aziz sangatlah kehilangan ning Azizah yang kocak, yang
lucu, yang pandai membuat syair, bahkan beberapa syair kang aziz yang sudah
dibuatnya dan hendak diberikan pada ning Azizah nampaknya harus disimpan dulu,
mungkin suatu saat ada orang lain yang ditakdirkan membaca.
“lho... kang aziz pandai juga to buat puisi? Waduh
puisi kang aziz romantis banget” tiba-tiba ning Riza mengacak-ngacak isi lemari
kang Aziz, disaat kang aziz sedang membaca-baca kitabnya untuk persiapan
mengajar.
Kalau sudah ketahuan ning Riza, siapapun tidak
berani menegurnya, maklum dia adalah putri Kyai Marzuki yang ke empat dan
terakhir, meski umurnya hanya beda setahun dengan kakaknya namun pribadinya
masih sedikit kekanak-kanakan, bahkan ia sangat pemarah dan sangat sensitif
dengan siapapun, kalau sudah marah mungkin abah dan uminya tidak akan bisa
meredamnya kecuali hanya didiamkan saja, apalagi kalau sudah punya kemauan
secepatnya harus dituruti.
Mungkin ning mirza sekarang merasa kesepian
setelah kakak-kakaknya tidak ada yang dirumah lagi, tidak ada yang menjadi
sasaran marahnya, kalau sudah begini siapa lagi temannya kalau bukan kang Aziz.
Karena santri maupun abdi ndalem yang lain tidak ada yang berani
berdekat-dekatan dengan keluarga ndalem.
Pribadi dan kebiasaan ning Riza lebih kompleks
dari pada ketiga kakaknya, dari segi kecerdasan ia mirip dengan kakak
pertamanya, dari segi fisik ia persis dengan kakak keduanya, dari ceplas-ceplok
omongannya ia mirip dengan kakaknya yang ketiga.
Kang Aziz sendiri kerap direpotkan juga oleh ulah
ning Riza ini, kalau sudah minta sesuatu betapapun sibuknya dia harus
mengutamakan permintaan ning Riza kalau tidak mau kena semprotnya, bicaranya
yang ceplas-ceplos kerap kali membuat dirinya tidak nyaman jika harus dimarahi
atau diatur-atur oleh ning Riza apalagi dihadapan para santri lain, seakan-akan
hal ini bisa mengurangi kewibawaan kang Aziz dimata santri yang lain.
“kang aziz ini bagaimana sih??? Umur sama goblok
kok balapan” teriak ning Riza cengkel ketika ia sedang merasa kesal pada
kang Aziz saat diminta mengoperasikan HP terbaru ning Riza yang baru dibelikan
oleh abahnya.
“namanya orang gak pernah punya HP ning” jawabnya
kalem sambil membela diri
“tu kan...tambah kelihatan katroknya” tambah ning
Mirza dengan kesal “ni pakek saja HP ku yang lama, biar aku bisa sewaktu-waktu
nyuruh sampean”
“gak usah ning” jawab kang Aziz sambil terus
mencoba mengotak-atik meski ia sendiri tidak tahu mana yang harus dipencet agar
bisa bunyi.
Meski ning Riza kekanak-kanakan dan sering
merepotkan kang Aziz namun kang aziz sendiri senang kepadanya, karena ning Riza
juga pandai mengalem kepada kang Aziz, terkadang juga timbul sifat
perhatian juga pada diri ning Riza kepada kang aziz. Memang sejauh ini watak
kaku ning Riza hanya luluh jika bersama kang Aziz, mungkin karena watak ning
Riza lebih meng-adik.
Tidak jarang ia kerap menceramai macem-macem
kepada kang aziz, mulai dari jaga kesehatan, jangan lupa makan, jangan bekadang
sampai malam, apalagi kalau kang aziz lagi makan sedikit sudah dipastikan bila
ketahuan ning riza ia akan ngomel-ngomel gak karuan, apalagi kalau ketahuan ia
sedang merokok sudah tentu semprotan paling dahhsyat akan keluar dari mulutnya.
“kang aziz pingin sakit ya? Makan kok kalah sama
ayam” begitu kata ning riza ketika
melihat kang aziz sarapan dengan hanya sedikit mengambil nasi
“masih kenyang ning” kata kang aziz penuh
kesopanan
“nih ...makan yang buanyak, kalau sudah kenyang,
wajib mengantarkan aku beli baju” kata ning Riza penuh manja sambil menuangkan
beberapa entong nasi ke piring kang aziz, ia hanya mendiamkan ulah ning
Riza yang perhatian sama dia.
Begitulah hari-hari kang aziz dengan ning Riza,
ada perasan kesal ada perasaan sayang dan kadang merasa diperhatikan juga,
meski tidak jarang ning Riza merepotkan kang Aziz namun ia selalu melayaninya
dengan senang hati tanpa sedikitpun ada kemurungan dan kemalasan jika harus
mengahadapi prilaku putri ragil kyai Marzuki ini.
Pernah suatu ketika, kang aziz seharian tidak
pulang karena harus mengantar Kyai Marzuki yang sedang mengisi pengajian keluar
kota, setelah baru datang, dan belum selesai ia markir mobil garansi, ning Riza
sudah menghampirinya dan ngomel-ngomel gak karuan “kang aziz kenama saja
sih...seharian gak kelihatan batang hidungnya, aku kesepian tauuuuu!!!”
kata-kata itulah yang kerap di didengar oleh kang Aziz dari mulut ning Riza
penuh manja, baik itu ketika ada tugas dari mbah Yai atau harus mengajar di
madrasah sampai sore hari, “pokoknya sampean harus menggantinya dengan
nemenin aku sampai malam liat TV” kata ning Riza dengan penuh harap kepada kang
Aziz yang hendak membereskan barang bawaanya dari mobil.
Di diri kang Aziz kini sepertinya baru tersadar kalau
ning Riza sebenarnya sangatlah sayang kepada dirinya, meski kadang tingkahnya
seperti anak kecil, namun memang kebiasaanya seperti itu, dibalik itu ning Riza
juga kerap menunjukkan rasa perhatian kepadanya. Inilah yang menjadikan kang
Aziz semakin yakin kalau ning Riza sebenarnya sayang kepadanya.
Suatu ketika muncullah keinginan kang aziz untuk
meminang ning Riza, tidak ada alasan lagi kecuali ia segera mengutarakan niat
baikknya kepada Yai Marzuki, sudah barang tentu mbah Yai mesti merestui karena
sampai sejauh ini ning Riza hanya menuruti kata-kata kang Aziz ketimbang dengan
abahnya sendiri.
Sudah beberapa kali Mbah yai dan Ibu nyai
kewalahan menuruti ulah putri ragilnya itu, dari mulai pingin beli ini, pingin
main itu dan lain-lain namun jika sudah dengan kang Aziz sepertinya kebiasaan
buruk ning Riza bisa berubah, memang kadang perubahan itu disebabkan oleh benda
lain yang memaksanya berubah, begitulah kiranya teori atomisme yang
mengilhami pikiran revolusioner para pemikir besar eropa.
Namun siang itu hati kang aziz seperti disambar
petir di siang bolong, tiba-tiba ning Riza datang kepadanya untuk meminta
dibuatkan surat cinta dan puisi-puisi romantis kepada saudara sepupu ning Riza
sendiri, kata ning riza, ia sedang jatuh cinta kepada gus Ilham, dan kang Aziz
wajib membuatkan surat dan puisi-puisi sampai cintanya diterima oleh pujaan
hatinya.
Sudah barang tentu kang Aziz meladeni permintaan
ning Riza dan ia sendiri harus mengurungkan niatnya untuk mator kepada
mbah Yai tentang perasaan sayangnya kepada ning Riza. Surat dan puisi-puisi
cinta yang dulu ia simpan untuk ning Mirza toh sekarang akhirnya laku juga
meski bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang yang ia sayangi meski juga
bukan untuk kebahagiaan sang pencipta nya sendiri.
Beberapa bulan kemudian sepertinya keluarga dari
gus Ilham sowan kepada Mbah Yai untuk melamar ning riza, selang beberapa
bulan prosesi pernikahan yang super mewah pun rencananya akan digelar karena
setelah ini tidak ada lagi pernikahan dikeluarga besar Kyai Marzuki.
Namun anehnya sebelum hari H pernikahan Kang Aziz
tidak kelihatan batang hidungnya, bahkan tidak ada santri dan abdi ndalempun
yang mengetahuinya, Kyai Marzuki juga tidak tahu dimana keberadaan kang Aziz sekarang,
jelas saja mereka semua kelabakan dalam menyiapkan prosesi pernikahan yang
super meriah itu, namun acaranyapun juga bisa sukses sebagaimana yang
direncanakan. Acara demi acara bisa berjalan dengan baik, dan sekarang ning
Riza sudah menjadi milik orang lain dan harus ikut suaminya, karena seperti
itulah tradisi orang jawa, istri harus nurut sama suami dimanapun ia mengajak
tinggal. Kini ndalem Kyai Marzuki tidak ada lagi putri-putrinya yang
kocak, alim, pinter dan tidak ada lagi kang Aziz yang super setia menjadi abdi
ndalem sejak kecil sampai dewasa.
Beberapa bulan kemudian Kyai marzuki dipanggil
oleh Allah, ia wafat dengan usianya yang masih cukup muda, seketika itu rasa
duka meliputi seluruh pesantren ribuan pelayat dari seluruh elemen masyarakat
membanjiri pondok pesantren Raudlotut tholibin untuk mendo’akan arwah Kyai
Marzuki ke hadirat Allah, karena Kyai Marzuki adalah sosok Kyai yang paling
disegani oleh masyarakat dan Kyai-kyai besar dari daerah lain. Kalau memang
kehendak Allah demikian siapa yang bisa menyangkal, ngak peduli tua atau muda
kalau jatah umurnya telah habis pastilah maut tidak bisa ditolak lagi.
Jarak satu tahun kemudian pondok raudlatut
tholibin gempar, kang Aziz seorang abdi ndalem karena kealiman ilmunya dan
ketulusannya mengabdi di jalan Allah sekarang menikah dengan ibu Nyai Najwa
janda muda istri Kyai Marzuki. Pondok Roudlotut tholibinpun sekarang lima kali
lebih besar dan lebih maju pendidikannya semenjak dipimpin oleh Almaghfullah
Mbah Yai Haji Abd. Aziz alhafidz.
WASSALAM
Kediri, Nopember 2006
Penulis : Kang Muthok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar