PENGGUBAH
SHOLAWAT BADAR ITU SANTRI LIRBOYO
Shalawat Badar
sangat familiar di kalangan nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama). Di
hampir seluruh kegiatan Nahdlatul Ulama, shalawat ini selalu didengungkan.
Berikut sebagian teks Shalawat Badar:
صَـلاَةُ
اللهِ سَـلا مُ اللهِ * عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
Shalaatullaah
Salaamul laah ‘Alaa Thaaha Rasuulillaah
Rahmat dan
keselamatan Allah, semoga tetap untuk Thaaha* utusan Allah
صَـلا
ةُ اللهِ سَـلا مُ اللهِ * عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Shalaatullaah
Salaamullah ‘Alaa Yaa Siin Habiibillaah
Rahmat dan
keselamatan Allah, semoga tetap untuk Yasin* kekasih Allah
تَوَ
سَـلْنَا بِـبِـسْـمِ اللّهِ * وَبِالْـهَادِى رَسُـوْلِ اللهِ
Tawassalnaa
Bibismi llaah Wabil Haadi Rasuulillaah
Kami berwasilah
dengan berkah “Basmalah”, dan dengan Nabi sang Petunjuk, lagi utusan Allah
وَ
كُــلِّ مُجَـا هِـدِ لِلّهِ * بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wakulli
Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
Dan dengan
berkah seluruh orang yang berjuang karena Allah, sebab berkahnya para sahabat
yang berjuang dalam perang Badar ya Allah.
Shalawat Badar
digubah oleh Kiai Ali Mansur Banyuwangi. Beliau adalah salah seorang cucu dari
KH. Muhammad Shiddiq Jember. Syair itu digubah pada era 60-an. Saat itu, Kiai
Ali Mansur menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus
menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama.
Proses
terciptanya Shalawat Badar tidaklah seperti terciptanya syair pada umumnya.
Pada suatu malam, Kiai Ali Mansur tidak bisa tidur. Ia terus dirundung gelisah.
Pasalnya, situasi negara dan masyarakat Indonesia terbilang carut marut.
Apalagi, situasi politik yang ada semakin tidak menguntungkan Nahdlatul Ulama,
yang saat itu masih menjadi partai politik, bukan organisasi kemasyarakatan
seperti sekarang.
Orang-orang
PKI, yang menjadi lawan utama NU dalam ranah politik, semakin leluasa
mendominasi kekuasaan. Bahkan, mereka dengan terang-terangan ingin memusnahkan
NU dengan melemahkan posisi kiai-kiai di pedesaan. Bahkan membunuh para kiai
itu. Ini tidak lain didasari fakta bahwa para kiai inilah yang dengan sekuat
tenaga membendung virus ideologi yang disebarkan PKI.
Kegelisahan
Kiai Ali Mansur ini bertambah masygul. Di malam sebelumnya, beliau bermimpi
didatangi para habib berjubah putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena di
malam yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ.
Keesokan
harinya, beliau segera sowan kepada salah satu ulama besar ketika itu, Habib
Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Ditanyakanlah perihal mimpi itu, “Itu Ahli
Badar, ya Akhy,” jawab Habib Hadi.
Peristiwa aneh
ini kemudian menginspirasi beliau untuk menggubah syair. Perlu diketahui,
beliau adalah ulama yang sangat mahir dalam menggubah syair. Kemahiran ini
beliau peroleh saat masih nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo. yang
kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.
Sambil
merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis
syair-syair dalam bahasa arab. Beliau memang dikenal mahir membuat syair sajak
ketika masih belajar di Pondok Pesantren Lirboyo. Di pesantren ini, beliau
mengenal ilmu ‘arud, sebuah ilmu yang khusus mempelajari rumus-rumus syair Arab
yang rumit. Hingga sekarang, pelajaran ini menjadi bahan ajar wajib bagi santri
Pondok Pesantren Lirboyo.
Peristiwa aneh
ini ternyata tidak berhenti. Keesokan harinya, tetangga sekitar rumah berbondong-bondong
menuju rumah beliau. Mereka membawa beras, daging, sayur mayur dan lain
sebagainya, seperti akan ada hajat besar di rumah beliau. Saat ditanya mengapa
mereka bertingkah demikian, jawaban yang ada juga mengherankan. Mereka
bercerita, bahwa di pagi-pagi buta, pintu rumah masing-masing dari mereka
didatangi orang berjubah putih. Ia memberi kabar, bahwa di rumah Kiai Ali
Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka, mereka pun
membantu sesuai dengan kemampuannya.
“Siapa orang yang
berjubah putih itu?”Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali
Mansur tanpa jawaban. Di malam harinya, para tetangga itu bekerja di dapur
untuk mengolah bahan-bahan yang telah terkumpul siang tadi. Sampai malam itu
pula, tidak ada satupun orang yang tahu, masakan yang mereka buat untuk acara
apa.
Hingga kemudian
menjelang matahari terbit, datanglah serombongan berjubah putih-hijau. Usut
punya usut, mereka adalah rombongan habib yang dipimpin oleh Habib Ali bin
Abdurrahman al- Habsyi, Kwitang, Jakarta.
“Alhamdulillah,” kiai
Ali Mansur sangat bergembira dengan kedatangan rombongan itu. Mereka adalah
rombongan para habaib yang sangat dihormati oleh keluarganya. Setelah
berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi
politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali Kwitang menanyakan
topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur, “Ya Akhy! Mana syair
yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di
hadapan kami-kami ini!”
Tentu saja Kiai
Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam tanpa
siapapun yang memberitahu beliau. Namun ia memaklumi, itulah karomah yang
diberikan Allah kepadanya.
Segera saja
Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya
semalam, lalu melagukannya di hadapan para tamu. Suara Kiai Ali Mansur yang
merdu, membuat alunan suara Shalawat Badar sangat dinikmati oleh para Habaib.
Mereka mendengarkannya dengan khusyuk, hingga meneteskan air mata karena
haru. Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dialunkan oleh Kiai Ali Mansur,
Habib Ali Kwitang segera bangkit. “Ya Akhy! Mari kita perangi
genjer-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar!” serunya dengan nada mantap.
Sejak saat itu,
Shalawat Badar perlahan menjadi semacam bacaan wajib bagi warga NU untuk
membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI. Untuk lebih mempopulerkannya,
Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH.
Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum
istimewa itulah Shalawat Badar dikumandangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar